Oleh: Prof. Dr. Ahmad Subagyo
Mengapa Koperasi Sulit Memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas Tanah?
Bayangkan koperasi sebagai rumah bersama, tempat banyak orang menitipkan harapan, modal, dan kerja kolektif untuk masa depan yang lebih baik. Namun, ketika bicara soal kepemilikan tanah-aset paling berharga di Indonesia-koperasi justru menghadapi tembok tebal regulasi dan logika hukum yang rumit. Inilah yang diurai secara tajam oleh Prof. Dr. Ahmad Subagyo dalam naskah akademiknya.
- Dilema di Persimpangan Hukum dan Keuangan
Koperasi di Indonesia, menurut Prof. Subagyo, berada di “persimpangan jalan” antara entitas sosial seperti yayasan dan entitas komersial seperti perseroan terbatas (PT). Di satu sisi, koperasi adalah badan hukum yang diakui oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 sebagai subjek hukum yang bisa punya tanah. Namun, dalam praktiknya, hanya koperasi jenis tertentu-misalnya koperasi pertanian-yang secara eksplisit diizinkan memiliki SHM berdasarkan PP No. 38/1963. Koperasi simpan pinjam atau koperasi jasa? Mereka harus gigit jari, karena tidak masuk daftar “badan hukum yang boleh” punya SHM.
- Ambiguitas Simpanan: Modal atau Titipan?
Masalah utama, menurut Prof. Subagyo, terletak pada struktur keuangan koperasi. Modal koperasi berasal dari “simpanan pokok” dan “simpanan wajib” anggota. Tapi, berbeda dengan saham di PT atau harta wakaf di yayasan, simpanan koperasi bersifat sementara-anggota bisa menariknya kapan saja. Ini menciptakan ambiguitas: apakah simpanan itu benar-benar modal (ekuitas) permanen, atau hanya titipan yang bisa hilang sewaktu-waktu? Jika modal bisa “pulang kampung” kapan saja, bagaimana koperasi bisa dianggap punya kekuatan keuangan jangka panjang (going concern) yang layak untuk memegang SHM?
- Perbandingan: Yayasan, PT, dan Koperasi
- Yayasan: Memiliki aset (termasuk tanah) yang bersifat abadi, seringkali berupa wakaf, dan tidak bisa diwariskan ke individu. Statusnya jelas, sehingga negara percaya untuk memberikan SHM
- PT: Modalnya berupa saham yang jelas kepemilikannya dan hanya bisa berpindah lewat mekanisme jual-beli. PT juga diakui sebagai badan hukum yang bisa punya tanah, meski seringnya hanya HGB atau HGU, kecuali PT tertentu
- Koperasi: Karena modalnya bisa “ditarik” anggota, negara ragu memberikan SHM. Ada kekhawatiran, jika anggota keluar massal dan menarik simpanan, koperasi bisa bubar tiba-tiba-tanah milik siapa?
- Risiko Hukum dan Praktik di Lapangan
Dalam praktiknya, ada koperasi yang “meminjam nama” ketua atau pengurus untuk mengakali aturan SHM. Tapi, ini berisiko besar dan bisa dianggap perbuatan melawan hukum, karena bertentangan dengan prinsip legalitas subjek hukum tanah di Indonesia
- Upaya Solusi dan Jalan ke Depan
Pemerintah sebenarnya sudah mulai membuka peluang lewat program reforma agraria, di mana koperasi bisa mendapat hak kelola atau bahkan hak milik atas lahan yang dikelola produktif. Namun, tanpa perubahan mendasar pada struktur keuangan dan status hukum koperasi, masalah ini akan terus muncul. Prof. Subagyo merekomendasikan perlunya reformasi regulasi-misalnya, memperjelas status simpanan sebagai modal permanen atau memperluas cakupan koperasi yang boleh punya SHM.
- Inti Pesan Prof. Subagyo
Singkatnya, selama koperasi belum punya status modal yang jelas dan permanen seperti PT atau yayasan, negara akan terus ragu memberikan SHM. Ini bukan sekadar soal hukum agraria, tapi juga soal kepercayaan negara pada daya tahan koperasi sebagai rumah bersama yang benar-benar kokoh, bukan rumah kontrakan yang bisa bubar sewaktu-waktu.
Kesimpulan
Koperasi itu seperti kapal besar yang membawa banyak penumpang. Tapi, selama “tiket” penumpang (simpanan anggota) bisa dikembalikan kapan saja, negara enggan memberikan “surat kepemilikan kapal” (SHM tanah) kepada koperasi. Jika ingin dipercaya, koperasi harus membuktikan bahwa mereka adalah kapal yang siap berlayar jauh, dengan modal yang kokoh dan awak yang setia sampai tujuan.
“Koperasi harus memperjelas status keuangannya agar negara percaya dan berani memberikan hak milik tanah sebagai aset bersama.” – Prof. Dr. Ahmad Subagyo
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.