Beritakoperasi, Jakarta – Kamis (22/7) redaksi berbincang melalui telepon dengan pengamat ekonomi kerakyatan yang sekaligus praktisi koperasi, Suroto. Dikenal dengan pemikiran kritisnya, Suroto banyak menyorot tentang peran seharusnya yang dimainkan oleh pemerintah dalam menciptakan iklim usaha dan kebijakan yang berpihak pada usaha rakyat.

Membuka pembicaraan, Suroto yang Ketua Akses ini mengatakan bahwa masalah serius usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia ini adalah soal regulasi dan kebijakan.  Belum ada affirmative action policy dari pemerintah yang kongkrit. Selama ini yang ada masih hanya slogan saja.

“Sebut misalnya soal akses kredit, selama ini ternyata dari program inklusi keuangan yang didorong melalui berbagai regulasi dan kebijakan oleh Pemerintah tetap saja yang banyak diuntungkan adalah bankir dan makelar program” ujar CEO Inkur ini.

“Akses kredit perbankkan tak mampu menjangkau mereka (pelaku UMKM). Padahal mereka  jumlahnya paling banyak di Indonesia. Berdasarkan data pelaku UMKM sebanyak 64 juta atau 99,8 persen dari jumlah pelaku usaha. Realisasinya dari total rasio kredit yang ada tahun 2020 untuk mereka hanya 3 persen” papar Suroto lagi.

Baca juga:  Putri Bung Hatta Beri Apresiasi atas Inisiatif KemenKop di Hari Pahlawan

“UMKM sampai hari ini masih saja jadi korban dari rentenir yang mengenakan bunga tinggi hingga 10-30 persen per bulan. Nilai tambah ekonomi mereka tersedot habis dan pada akhirnya tidak mampu ciptakan dana cadangan untuk reinvestasi bagi pengembangan usaha mereka” tambahnya.

Dapatkan Buku Terbaru, Bacaan Wajib Pelaku Koperasi Indonesia | Info Buku WA Center 0812-3605-4513

“Seharusnya bank Himbara atau bank BUMN bisa dipaksa oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI). Kenapa tidak dikeluarkan kebijakan untuk bank menyalurkan kredit untuk usaha mikro misalnya minimal 60 persen. Lalu dibuat sanksi yang jelas dan tegas” lanjutnya

Dia juga menyoroti tentang kredit program untuk usaha mikro yang ada terutama KUR (Kredit Usaha Rakyat) juga tidak sampai pada mereka. Padahal ada komponen subsidi bunga hingga 10 persen dan juga penjaminan kalau macet dari uang  permerintah yang di tempatkan di dua lembaga BUMN penjamin kredit Jamkrindo dan Askrindo hingga 80 persen. Padahal uang tersebut bersumber dari APBN atau uang masyarakat kecil pembayar pajak.

Baca juga:  Pemerintah Kembali Perpanjang Moratorium Izin Koperasi Simpan Pinjam

“Saya melihat bank BUMN sudah kehilangan misi “goverment service obligation” sebagaimana tertuang dalam UU BUMN. Ini artinya bank-bank BUMN sudah kehilangan relevansinya sebagai agen pembangunan. Tidak layak untuk mendapatkan fasilitas kebijakan” paparnya

“Pembentukkan Holding Ultra Mikro yang baru diteken PP nya oleh Presiden tanggal 2 Juli 2021 lalu juga kami tengarai hanya akan jadi akal akalan dari bankir yang akan memainkan isu membantu usaha mikro untuk tujuan pengejaran profitabilitas mereka” jelas Suroto lagi.

Menurutnya pemerintah selama ini juga diskriminatif terhadap lembaga keuangan non bank yang dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro seperti Koperasi, BMT, KPD dan lain-lain. Mereka sengaja dikerdilkan dengan tidak di-design untuk berkembang baik kelembagaannya. Sebut saja misalnya tanpa ada Lembaga Penjaminan Simpanan ( LPS), tidak ada dana penempatan, modal penyertaan, subsidi bunga, penjaminan pinjaman dan bahkan talangan (bailout) ketika kesulitan likuiditas. Selama ini semua kebijakan ini hanya diberikan kepada bank.

“Hal ini akhirnya berdampak pada kemampuan mereka untuk melayani masyarakat UMKM yang ada. Mereka  yang sudah tidak punya akses kredit ke perbankan terpaksa harus menerima pinjaman dengan suku bunga tinggi” lanjutnya

Baca juga:  Kuliner Modern Harga Merakyat di Purwokerto, Selalu Ramai Pengunjung, Menu Paling Unik Sambel Steak.

Ia juga menekankan bahwa selain isu akses permodalan di atas, pemerintah selama ini terutama Kementerian Koperasi dan UKM serta kementerian teknis terkait lainya tidak benar-benar serius untuk membuat terobosan kebijakan program. Dari dulu hanya berputar putar menghabiskan anggaran untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan yang formalistik dan tidak menjangkau kebutuhan mereka.

“Padahal kalau mereka diberikan semacam kebijakan trade-off untuk mendukung pengembangan industri rumah tangga, pembentukan joint factory, insentif pajak, dan lainna lakan langsung dapat mendorong peningkatan usaha mereka tanpa harus mengeluarkan banyak biaya” jelas Suroto.

Masa Pandemi ini harusnya jadi kesempatan emas untuk pemerintah berfokus pada usaha mikro dan kecil ini. Selain keselamatan jiwa, saat ini ekonomi rakyat harus tetap jalan. Menutup pernyataannya, suroto mengatakan sampai saat ini usaha mikro masih terus menungu afirmasi kebijakan kongkrit pemerintah. “Saya ingin katakan sampai saat ini usaha mikro masih terus menungu afirmasi kebijakan kongkrit pemerintah” ujarnya. (Diah/Beritakoperasi)