Jakarta, Beritakoperasi – Pengguna energi terbarukan (EBT) semakin menarik perhatian bagi Usaha, Mikro, dan Menengah (UMKM). Hal ini karena EBT cenderung ramah lingkungan dan memiliki kemampuan dalam menekan biaya operasional serta meningkatkan daya saing UMKM di pasar global.

Untuk mempelajari tentang pemanfaatan EBT, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki melakukan studi banding ke dua lembaga yang menerapkan teknologi dalam mengembangkan EBT di Amerika.

Pertama, Teten mengunjungi Scripps Institution of Oceanography. Lembaga ini merupakan lembaga penelitian yang menggunakan teknologi canggih seperti 3D dan kecerdasan buatan (AI) untuk mendukung penelitian mereka. Dalam kunjungannya, Teten mempelajari penerapan EBT dan mengeksplorasi pusat riset pencitraan 3D serta AI di bawah laut yang terbaik di dunia. 

Scripps menerapkan teknologi rekonstruksi ekosistem 3D yang memungkinkan peneliti merekonstruksi dan menganalisis habitat laut kompleks serta memahami dampak perubahan iklim dan aktivitas manusia. Scripps juga memanfaatkan AI untuk menganalisis data laut yang besar, mengenali pola, dan memberikan analisis yang lebih cepat serta akurat.

Baca juga:  Pandemi, Teten Ingin Koperasi dan UMKM Jadi Sentara Pemulihan Ekonomi

“Untuk mengetahui pendekatan pendanaan seperti apa yang dilakukan, Scripps menggunakan sonar multibeam dan LIDAR untuk membuat peta tiga dimensi dari dasar laut, termasuk gunung bawah laut dan terumbu karang,” ucap Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam keterangan resminya, Rabu (21/8/2024).

Selain itu, Scripps juga mengembangkan teknologi robotik dan drones untuk eksplorasi laut dan pengumpulan data dari kedalaman yang sulit dijangkau. Sementara itu, modeling 3D digunakan untuk memodelkan iklim bumi dan memprediksi dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan perubahan arus laut.

Visualisasi data 3D digunakan untuk mempermudah penyampaian data ilmiah secara intuitif dan interaktif, membantu ilmuwan, pembuat kebijakan, dan publik memahami hasil penelitian.

Kunjungan kedua dilakukan ke Aptera Motors Factory, yang didirikan oleh Steve Fambro dan Chris Anthony. Lembaga ini merupakan produsen Amerika yang mengkhususkan diri dalam pengembangan kendaraan listrik bertenaga surya/Solar Electric Vehicle (SEV) yang sangat efisien.

Aptera Motors Factory berkantor pusat di Carlsbad, California. Aptera berencana untuk memproduksi hanya 371 kendaraan selama fase produksi volume rendah pada tahun 2025, meningkat menjadi 11.000 unit pada tahun 2026, dan akhirnya mencapai produksi tahunan sebesar 20 ribu kendaraan. 

Baca juga:  Indonesia Bidik Swasembada Gula, Perhutani Siapkan 2.300 Hektar Lahan Tebu

“Hingga saat ini, Aptera telah berhasil mengumpulkan 135 juta dolar AS dari lebih dari 17.000 investor (crowdfunding), GDP Venture (Grup Djarum) adalah salah satu investor terbesar,” katanya.

Salah satu keunikan yang disebutkan KemenKop UKM dari Aptera adalah bentuk mobil yang futuristik. Mobil Aptera hanya memiliki tiga roda dan memiliki panel surya yang terintegrasi di badan mobilnya. 

Mobil itu mampu menempuh jarak hingga 1.000 mil/1600 km dengan sekali pengisian daya dan tambahan 40 mil/64,3 km dari pengisian daya dari panel surya selama perjalanan. Harga satu unit nya lebih kurang 30.000 dolar AS atau sekitar Rp 474 juta.

Menariknya lagi, Aptera memproduksi dengan pencetakan 3D, AI, dan bodi komposit yang memungkinkan produksi kendaraan yang cepat, bervolume tinggi, dan hemat biaya. (IT/Beritakoperasi)