Beritakoperasi, Purwokerto – Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2016-2019, Arcandra Tahar menilai hubungan konflik suatu negara dengan gangguan supply energi bukan perkara baru. Hal tersebut merespon eskalasi konflik di Timur Tengah antara Iran dan Israel.

Menurut Arcandra peristiwa seperti ini sudah ada sebelumnya, dimana pada tahun 1970-1980'an terjadi krisis energi karena terganggunya supply.

"Jadi dari tahun-tahun sebelumnya kita juga sudah memahami bahwa ini akan terjadi selalu," kata Arcandra ditemui di Gedung Kementerian ESDM, dikutip Rabu (17/4/2024).

Ia membeberkan banyak dari berbagai negara saat ini tidak lagi memandang dampak konflik terhadap harga energi secara jangka pendek. Melainkan bagaimana berbagai negara mengantisipasi kondisi tersebut.

Arcandra menyadari konflik yang terjadi di timur tengah berpotensi membuat harga minyak mentah global terkerek naik karena tersendatnya pasokan. Terlebih, wilayah ini merupakan salah satu produsen minyak terbesar.

"Nah sekarang terjadinya peristiwa konflik ini ada kemungkinan naik? ada. Kalau dia naik biasanya suatu saat dia akan turun. Kalau turun, dia akan naik kembali. Kalau peristiwa naiknya apa yang sudah kita persiapkan dan akan kita persiapkan untuk mengantisipasi dia naik ini," ujarnya.

Baca juga:  Kondisi Global Makin Ngeri, Wamenkeu: Suku Bunga The Fed Sulit Turun

Arcandra menyebut Amerika Serikat, peningkatan produksi minyak AS yang luar biasa tidak terlepas dari penemuan teknologi shale oil yang sangat fenomenal. Karena itu minyak dari AS kita sebut dengan shale oil.

BACA JUGA: https://beritakoperasi.com/panas-perang-iran-israel-pemerintah-ungkap-nasib-wni

Ia mengatakan bahwa AS kemungkinan besar tidak menginginkan harga minyak di atas US$ 100. Pasalnya, apabila harga minyak bertengger ke level US$ 100 per barel, maka inflasi negara tersebut akan semakin parah lantaran pemerintah tidak memberikan subsidi.

Di sisi lain, AS juga tidak menghendaki harga minyak berada di bawah US$ 70 per barel. Hal ini lantaran ongkos produksi dari shale oil cukup tinggi.

"Semua harga masuk pom bensin tidak ada subsidi, jadi ya gak mau harga di atas US$ 100, memperparah inflasi. Kalau gitu, harga di bawah US$ 90 tapi juga tidak boleh di bawah US$70, kenapa? shale oil itu mahal," katanya.

Kemudian Syeikh Oil dari Arab Saudi, minyak dari Arab justru lebih dapat menyesuaikan pada kenaikan harga maupun sebaliknya. Pasalnya ongkos produksi minyak di negara tersebut cenderung lebih rendah yakni sebesar US$ 20 per barel.

Baca juga:  Teten Masduki : Koperasi Tak Bisa Lagi Rampok Uang Anggota

"Jadi kalau harga rendah pun dihadapi itu, tapi kalau harganya tinggi sekali dia mau karena harga di pom bensin mereka disubsidi, penduduknya kecil, produksi besar. Jadi kalau harga tinggi pun di syekh oil itu mereka ok, mau 100, 110, 120, mereka ok," katanya.

Berikutnya minyak yang berasal dari Rusia atau yang sering disebut dengan Sale Oil. Tak jauh berbeda dengan Amerika Serikat, Rusia juga tak mengharapkan harga minyak berada di bawah US$ 70 per barel.

Hal tersebut lantaran negara ini biasanya menjual minyaknya dengan harga diskon. Bahkan tak tanggung-tanggung, Rusia memberikan diskon hingga US$ 30 per barel pada 2023 lalu.

"Bahkan 2023 diskonnya sampai US$ 30 per barel, harga US$ 80 per barel, dia jual di kurangi US$ 30 per barel jadi US$ 50 per barel. Nah untuk itu, harga biasanya kalau bisa ya harga setinggi2nya bagus, tapi harga rendah jangan sampai kalau ongkos produksi di Rusia mungkin sekitar US$ 30-40 per barel, kemudian ditambah ongkos diskon US$ 30, kalau bisa harga di US$ 70 per barel bagi Rusia itu paling rendah," tambahnya. (Beritakoperasi/Izul)
 

Baca juga:  Kolaborasi KemenKopUKM-Dekranas Dongkrak Target Rasio Kewirausahaan 4 Persen